Surau: Melirik Aktifitas Transmisi Keilmuan Islam Tradisional

Oleh: Apria Putra
Tulisan ini dikutip dari Penelitian Kelompok penulis pada PUSLIT IAIN Padang, 2010

A. Surau dalam Sejarah Pendidikan Islam di Minangkabau
Dalam sejarah pendidikan Islam di Minangkabau, Surau merupakan institusi yang tidak bisa dikesampingkan. Surau memainkan peranan yang sangat signifikan dalam menyebarkan keilmuan Islam jauh sebelum pendidikan modern yang berbasis Madrasah muncul. Dalam sejarah tercatat, tokoh-tokoh besar yang mempunyai pengaruh luas banyak lahir dari Surau. Mereka dididik dan dibesarkan dalam lingkungan Surau. Sebutlah beberapa nama seumpama Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1916) yang pernah menjadi Mufti mazhab Syafi’i dan Imam di Mesjid al-Haram Mekah; Syekh Thahir Jalaluddin yang menjadi Mufti di Pulau Penang Malaysia; Syekh Janan Thaib yang menjadi guru besar pula di Mekah al-Mukarramah, dan banyak lagi lainnya. Begitu pula tokoh-tokoh nasional yang berjasa dalam masa awal pembentukan Indonesia, semisal Agus Salim, Hamka, Hatta dan lainnya. Ketokohan mereka tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari Surau, atau boleh dikata pernah beroleh pendidikan di Surau.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS. Poerwadarminta, Surau diartikan sebagai tempat sembahyang (shalat), mengaji dan langgar. Sedangkan Gerard Moussay dalam Dictionnaire Minangkabau Indonesien menyebutkan bahwa surau ialah tempat belajar Agama; surau digunakan juga sebagai asrama bagi remaja yang mulai tumbuh dewasa.
Dalam Ensiklopedi Pendidikan yang ditulis oleh Soegarda Poerbakawatja, dkk, disebutkan bahwa surau merupakan tempat belajar di Sumatera Barat. Di surau diberikan pelajaran keagamaan. Secara umum Poerbakawatja membagi institusi surau dalam dua tipe, besar dan kecil. Surau besar menyelenggarakan pelajaran rendah sampai yang tinggi. Sedangkan sifat pelajaran dari surau-surau kecil hanya terdiri dari pelajaran menghafal dan menulis. Menurut Snouck Hurgronye, seorang yang rajin dan cerdas akhirnya dapat membaca dan memahami buku-buku fiqih di Surau-surau yang besar dibawah pimpinan seorang guru yang pandai dan bijaksana.
Sedangkan AA. Navis dalam Alam Takambang Jadi Guru memberikan gambaran bahwa surau pada mulanya hanya berfungsi sebagai tempat tinggal laki-laki duda dan bujangan. Lambat laun fungsinya menjurus sebagai tempat pendidikan Agama Islam, menjadi tempat mukim bagi siapa saja yang datang untuk belajar agama, sehingga ulama-ulama muda yang mendapat pendidikan dari sana disebut orang surau. Surau demikian tak obahnya pesantren di Jawa. Surau yang tetap berfungsi seperti asalnya masih ada hingga kini.
Mengenai asal mula penamaan surau, disebutkan bahwa surau pada mula keberadaannya berfungsi sebagai biara budha di Minangkabau, yakni sebelum masuknya pengaruh Islam. Dimasa itu Adityawarman telah membuat sebuah model surau di Minangkabau sebagai pusat pengembangan agama budha. Bahkan dikatakan bahwa asal surau itu dari kata Saruaso, sebuah nama daerah, yang secara harfiyah bermakna surau asal, “surau” dan “aso”. Fungsi ini lama kelamaan berubah setelah masuknya agama Islam, apakah yang berasal dari pantai timur Sumatera atau pantai barat. Hingga akhirnya Surau identik dengan pusat pendidikan Islam di masa lalu.
Sebelum fungsi surau sempurna, surau menjadi milik suku tertentu di Minangkabau. Adapun karakter surau di masa itu ialah:
1) Tempat tinggal bagi anak-anak yang telah berusia lebih dari 6 tahun, para bujangan, duda, pelancong dan orang-orang tua.
2) Tempat berembut mencari mufakat bagi kaum atau suku.
3) Tempat berkumpul, berkomunikasi dan bertemunya anak kemenakan, ipar, bisan dan bako.
4) Tempat mensosialisasikan adat, sopan santun dan tata pergaulan.
5) Tempat belajar silat. Lanjutkan membaca “Surau: Melirik Aktifitas Transmisi Keilmuan Islam Tradisional”