Peranan dan Kedudukan Perempuan Melayu dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau di Sumatera Barat

Oleh: HERMAYULIS

ABSTRAK

Kedudukan bundo kanduang dalam undang-undang Minangkabau bukan sahaja sebagai penentu zuriat, tetapi juga penguasa rumah gadang dan pemilik harta pusaka, maka ia juga berperanan yang tertonjol sebagai penyimpan hasil usaha ekonomi keluarga. Sehubungan itu, banyak perwatakan diharapkan daripadanya. Antaranya ia harus bersifat yang benar, jujur dan cerdik, selain

arif lagi penyabar.

Kata kunci: Bundo kanduang, undang-undang adat Minangkabau, rumah gadang

ABSTRACT

The position of bundo kanduang in Minangkabau customary law is not only that as determinant of descendants, but also manager of rumah gadang and owner of inherited property, thus playing a preeminent role in family economy. In this context, she is expected to possess many characteristics. Among them are that she must be right, honest, intelligent, besides wise and full of endurance.

Keywords: Bundo kanduang, Minangkabau customary law, rumah gadang

PENGENALAN

Sebelum memperkatakan peranan dan kedudukan perempuan dalam adat Melayu Serumpun, perlu disepakati dahulu tentang konsep Melayu Serumpun. Ia setidaknya dapat difahami dari dua makna: masyarakat Melayu Polinesia dan masyarakat atau suku-suku bangsa di Nusantara. Dalam makalah ini saya ingin memperkatakan Melayu Serumpun dalam rangka masyarakat atau suku-suku bangsa di Nurantara.

Bila menyentuh “perempuan” akan ditemui dua istilah untuk jenis kelamin ini. Satu daripadanya ialah “wanita”. Memperhatikan rasa bahasa dan semantik dalam bahasa Minangkabau, saya memilih istilah “perempuan”. C. van Vollenhoven dalam literatur hukum adat di Indonesia menyatakan Nusantara dibahagikan kepada sembilan belas kelompok masyarakat hukum adat. Ini bermakna ada sembilan belas kumpulan masyarakat menganuti hukum adat yang berbeza antara satu dengan yang lain di Indonesia. Setiap masyarakat itu mempunyai hukum adat yang mengatur kehidupan dan pergaulan hidup dalam masyarakat yang berkenaan. Yang akan dijadikan tumpuan perbincangan dalam makalah ini ialah masyarakat yang mengikuti Adat Minangkabau.

Masyarakat Adat Minangkabau menjalankan kehidupan keluarga tertakluk kepada sistem matrilineal. Dalam sistem kekerabatan ini garis keturunan disusur galur mengikut keturunan ibu. Anak akan menjadi anggota kerabat ibunya dan memperolehi persukuan ibu. Dalam literatur tentang kemasyarakatan dinyatakan bahawa sistem kekerabatan matrilineal yang terbesar di dunia adalah

Minangkabau. Di Sumatera, masyarakat yang tertakluk kepada sistem matrilineal Minangkabau tidak hanya menduduki wilayah Sumatera Barat, tetapi juga provinsi Jambi, Riau dan Sumatera Utara. Di luar Sumatera, sistem kekerabatan yang hampir serupa itu dijumpai di kecamatan Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

KEDUDUKAN PEREMPUAN MINANGKABAU

Maksud kedudukan adalah martabat individu dalam masyarakat. Makalah ini khusus menghuraikan martabat perempuan dalam masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat.

Dalam masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, ada dua unsur yang disebut dalam dwi tunggal: mamak dan bundo kanduang (ibu soko dalam bahasa Melayu). Mamak adalah status (juga dinyatakan sebagai institusi) yang diberi kepada laki-laki dalam keturunan keluarga ibu. Termasuk dalam institusi

mamak adalah saudara laki-laki ibu, bapak saudara sebelah ibu, anak laki-laki dari pihak keturunan ibu. Menurut tambo,sejarah Minangkabau, bundo kanduang adalah institusi perempuan. Ia sangat penting. Dalam banyak tulisan, termasuk Tambo Alam Minangkabauyang ditulis Datoek Toeah (1984: 219),

bundo kanduang adalah penguasa perempuan yang diertikan sebagai ratu di Minangkabau. Makna bundo adalah ibu dan kanduang, sejati. Jadi, bundo kanduang adalah ibu sejati yang mempunyai sifat keibuan dan kepemimpinan.

Pengertian itu menyatakan bahawa perempuan ditempatkan sebagai pemilik sifat kepemimpinan. Peranan bundo kanduang dimainkan setiap perempuan di Minangkabau sehinggakan ia adalah panggilan kepada perempuan menurut adat Minangkabau..

Sebagai “pengantar” keturunan, perempuan harus menjaga diri dan menempatkan dirinya dalam aturan adat basandi Syara, tahu membezakan antara baik dan buruk, halal dan haram dalam hal makanan, dan banyak lagi perbuatan lahiriah lain. Bundo kanduang dalam masyarakat Minangkabau mempunyai tempat yang mulia, dikenali “pepatah adat” sebagaiBundo kaduang, limpapeh rumah nan gadang, pusek jalo kumpulan tali, sumarak di dalam kampuang, hiasan dalam nagari. Lanjutkan membaca “Peranan dan Kedudukan Perempuan Melayu dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau di Sumatera Barat”

Menempatkan Diri Dalam Berbagai Peran Menurut Adat Dan Budaya Minangkabau

 Padang Ekspres •  Puti Reno Raudha Thaib •

Minangkabau adalah salah satu suku bangsa di Indonesia di samping suku-suku bangsa lainnya; Melayu, Bugis, Jawa, Batak dan sebagainya. Mempunyai kawasan, bahasa dan adat budaya sendiri.

Kawasan penganut budaya Minangkabau sangat luas, mencakup sebahagian daerah Riau, Jambi, Bengkulu, Negeri Sembilan dan sebagian pantai barat Aceh. Sedangkan adat dan budayanya disebut adat dan budaya Minangkabau. Adat dan budaya Minangkabau mempunyai spesifikasi dan karakteristik tersendiri. Memakai sistem kekerabatan matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu (samande, saparuik, sakaum, sasuku).
Setiap orang Minangkabau laki-laki maupun perempuan mempunyai dua bentuk keluarga.

1. Keluarga kaum (extended family)
Setiap anggota kaum, akan selalu menjaga kaumnya dari segala hal. Di bawah pimpinan mamak kepala kaum. Komunalitas yang kuat seperti ini menyebabkan terpeliharanya anggota kaum dari berbagai penyimpangan, baik penyimpangan dalam hukum adat maupun agama Islam yang dianutnya. Mereka yang berada dalam satu kaum/suku tidak boleh kawin.
2. Keluarga batih (nuclear family)
Kesatuan keluarga terkecil yang terdiri dari suami, isteri dan anak. Keluarga batih adalah ”sarana” bertemu dan berinteraksinya antara kaum suami dan kaum istri. Suami atau isteri adalah ”duta” dari kaumnya masing-masing.
Kedudukan seorang istri dan seorang suami adalah ’setara”. Penyimpangan isteri atau suami merupakan ”malu” yang harus dipikul oleh kaum masing-masing.
Hal ini secara otomatis dapat menjaga perilaku suami, isteri dan anak-anak mereka. Artinya, sebuah perkawinan dalam sistem matrilineal dapat melahirkan penjagaan dan pengawasan untuk setiap individu dari dua buah keluarga besar.
Sistem kekerabatan matrilineal yang dianut sampai sekarang oleh masyarakat Minangkabau, menempatkan laki-laki dan perempuan berada pada posisi yang berimbang dan seimbang. Sebuah perkawinan di Minangkabau pada hakekatnya adalah perpaduan dua kaum; kaum pihak istri dan kaum pihak suami. Perpaduan dua suku; suku pihak istri dan suku pihak suami.
Dalam konstelasi ini, bagaimana laki-laki dan perempuan menempatkan diri di tengah-tengah kedua keluarga besar dan di keluarga intinya adalah sangat penting, tergantung sejauh mana pemahaman mereka terhadap kedudukan dan perannya sebagai: kemenakan, mamak/ mande, ayah/ ibu, anak, bako, ipar, besan dan seterusnya menurut ajaran adat Minangkabau dan ajaran agama islam yang dianutnya.(*)