Bunker Jepang

Bunker Jepang yang terletak di kota Bukittinggi dibangun oleh orang Indonesia melalui kerja paksa dibawah tekanan tentara Jepang yang menduduki Indonesia dari 1942 sampai 1945. Bunker bawah tanah ini memiliki panjang 1.470 meter dan berjarak 40 meter di bawah Ngarai Sianok. Terdapat 21 terowongan di dalam bunker yang digunakan untuk menyimpan amunisi, tempat tinggal, ruang pertemuan, ruang tahanan, ruang makan, dapur, ruang sidang, ruang penyiksaan, ruang mata-mata, ruang penyergapan, dan pintu gerbang untuk melarikan diri. Menjelajahi kompleks terowongan dan gua adalah petualangan yang nyata.

Anda dapat melihat bagaimana tempat ini menjadi benteng pertahanan yang kuat. Terowongan ini berdiameter tiga meter  dan mempunyai dinding yang begitu tebal sehingga suara diluar sana tidak dapat terdengar. Terowongan ini termasuk luas, hampir dua hektar, dan memiliki enam pintu. Satu pintu terletak di Taman Panorama sementara yang lain di jalan menuju Ngarai Sianok.

Kasih Tak Sampai

Ditulis oleh Elmirizal Chanan St Lenggang Basa Senin, 15 Februari 2010 20:27

Kira-kira pukul satu siang, kelihatan dua orang anak muda, bernaung di bawah pohon ketapang yang rindang, di muka sekolah Belanda Pasar Ambacang di Padang, seolah-olah mereka hendak memperlindungkan dirinya dari panas yang memancar dari atas dan timbul dari tanah, bagaikan uap air yang mendidih.

Seorang dari anak muda ini, ialah anak laki-laki, yang umurnya kira-kira 18 tahun. Pakaiannya baju jas tutup putih dan celana pendek hitam, yang berkancing di ujungnya. Sepatunya sepatu hitam tinggi, yang disambung ke atas dengan kaus sutera hitam pula dan diikatkan dengan ikatan kaus getah pada betisnya. Topinya topi rumput putih, yang biasa dipakai bangsa Belanda. Di tangan kirinya ada beberapa kitab dengan sebuah peta bumi dan dengan tangan kanannya dipegangnya sebuah belebas, yang dipukul-pukulkannya ke betisnya.

Jika dipandang dari jauh, tentulah akan disangka, anak muda ini seorang anak Belanda, yang hendak pulang dari sekolah. Tetapi jika dilihat dari dekat, nyatalah ia bukan bangsa Eropa; karena kulitnya kuning sebagai kulit langsat, rambut dan matanya hitam sebagai dawat. Di bawah dahinya yang lebar dan tinggi, nyata kelihatan alis matanya yang tebal dan hitam pula.

Hidungnya mancung dan mulutnya halus. Badannya sedang, tak gemuk dan tak kurus, tetapi tegap. Pada wajah mukanya yang jernih dan tenang, berbayang, bahwa ia seorang yang lurus, tetapi keras hati; tak mudah dibantah, barang sesuatu maksudnya. Menilik pakaian dan rumah sekolahnya, nyata ia anak seorang yang mampu dan tertib sopannya menyatakan ia anak seorang yang berbangsa tinggi.

Teman anak muda ini, ialah seorang anak perempuan yang umurnya kira-kira 15 tahun. Pakaian gadis ini pun sebagai pakaian anak Belanda juga. Rambutnya yang hitam dan tebal itu, dijalinnya dan diikatnya dengan benang sutera, dan diberinya pula berpita hitam di ujungnya. Gaunnya (baju nona-nona) terbuat dari kain batis, yang berkembang merah jambu. Sepatu dan kausnya, coklat wamanya. Dengan tangan kirinya dipegangnya sebuah batu tulis dan sebuah kotak yang berisi anak batu, pensil, pena, dan lain-lain sebagainya; dan di tangan kanannya adalah sebuah payung sutera kuning muda, yang berbunga dan berpinggir hijau.

Alangkah elok parasnya anak perawan ini, tatkala berdiri sedemikian! Seakan-akan dagang yang rawan, yang bercintakan sesuatu, yang tak mudah diperolehnya. Pipinya sebagai pauh dilayang, yang kemerah-merahan warnanya kena bayang baju dan payungnya, bertambah merah rupanya, kena panas matahari.

Apabila ia tertawa, cekunglah kedua pipinya, menambahkan manis rupanya; istimewa pula karena pada pipi kirinya ada tahi lalat yang hitam. Pandangan matanya tenang dan lembut, sebagai janda baru bangun tidur. Hidungnya mancung, sebagai bunga melur, bibirnya halus, sebagai delima merekah, dan di antara kedua bibir itu kelihatan giginya, rapat berjejer, sebagai dua baris gading yang putih. Dagunya sebagai lebah bergantung, dan pada kedua belah cuping telinganya kelihatan subang perak, yang bermatakan berlian besar, yang memancarkan cahaya air embun. Di lehernya yang jenjang, tergantung pada ranjai emas yang halus, sebuah dokoh hati-hati, yang bermatakan permata delima. Jika ia minum, seakan-akan terbayanglah air yang diminumnya di dalam kerongkongannya. Suaranya lemahlembut, bagai buluh perindu, memberi pilu yang mendengarnya. Dadanya bidang, pinggangnya ramping. Lengannya dilingkari gelang ular-ular, yang bermatakan beberapa butir berlian yang bemyala-nyala sinarnya. Pada jari manis tangan kirinya yang halus itu, kelihatan sebentuk cincin mutiara, yang besar matanya. Kakinya baik tokohnya dan jalannya lemah gemulai.

Menurut bangun tubuh, warna kulit dan perhiasan gadis ini, nyatalah ia bangsa anak negeri di sana; anak orang kaya atau orang yang berpangkat tinggi. Barangsiapa memandangnya, tak dapat tiada akan merasa tertarik oleh sesuatu tali rahasia, yang mengikat hati, dan jika mendengar suaranya, terlalailah daripada sesuatu pekerjaan. Sekalian orang bersangka, anak ini kelak, jika telah sampai umurnya, niscaya akan menjadi sekuntum bunga, kembang kota Padang, yang semerbak baunya sampai ke mana-mana, menjadikan asyik berahi segala kumbang dan rama-rama yang ada di sana.

“Apakah sebabnya Pak Ali hari ini terlambat datang? Lupakah ia menjemput kita?” demikianlah tanya anak laki-laki tadi kepada temannya yang perempuan, sambil menoleh ke jalan yang menuju ke pasar Kampung Jawa.

“Ya, biasanya sebelum pukul satu ia telah ada di sini. Sekarang, cobalah lihat! Jam di kantor telepon itu sudah hampir setengah dua,” jawab anak perempuan yang di sisinya.

“Jangan-jangan ia tertidur, karena mengantuk; sebab tadi malam ia minta izin kepada ayahku, pergi menonton komidi kuda. Kalau benar demikian, tentulah kesalahannya ini akan kuadukan kepada ayahku,” kata anak laki-laki itu pula, sebagai marah rupanya.

“Ah, jangan Sam. Kasihanilah orang tua itu! Karena ia bukan baru sehari dua bekerja pada ayahmu, melainkan telah bertahuntahun. Dan di dalam waktu yang sekian lamanya itu, belum ada ia berbuat kesalahan apa-apa. Bagaimanakah rasanya, kalau kita sendiri sudah setua itu, masih dimarahi juga? Pada sangkaku, tentulah ada alangan apa-apa padanya. Jangan jangan ia mendapat kecelakaan di tengah jalan. Kasihan orang tua itu! Lebih baik kita berjalan kaki saja perlahan-lahan, pulang ke rumah; barangkali di tengah jalan kita bertemu dengan dia kelak,” kata anak perempuan itu pula seraya membuka payung suteranya dan berjalan perlahan-lahan ke luar pekarangan rumah sekolah.

“Ya, tetapi aku lebih suka naik bendi daripada berjalan kaki, pulang ke rumah, sebab aku amat lelah rasanya dan hari amat panas. Lihatlah mukamu, telah merah sebagai jambu air, kena panas matahari!” jawab anak laki-laki itu, seakan-akan merengut, tetapi diikutinya juga temannya yang perempuan tadi.

“Benar hari panas, tetapi tak mengapa. Kaulihat sendiri, aku ada membawa payung yang boleh kita pakai bersama-sama. Merah mukaku ini bukan karena panas semata-mata, melainkan memang sejak dari sekolah sudah merah juga.”

“Apa sebabnya? Barangkali engkau dimarahi gurumu,” tanya Sam, demikianlah nama anak laki-laki itu, sambil memandang kepada temannya.

“Bukan begitu, Sam, hanya … O, itu Pak Ali datang!”

Tiada berapa lama kemudian, berhentilah di muka anak muda ini sebuah bendi yang ditarik oleh seekor kuda Batak. Rupanya kuda ini telah lama dipakai, karena badannya basah dengan….

Â

Download kelanjutan kisah ini Disini